KUTIM – Wacana pembentukan kelembagaan khusus untuk sektor Industri Kreatif (Ekraf) di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) telah memicu perdebatan antara pihak legislatif dan eksekutif. DPRD Kutim mendesak agar sektor ini berdiri sendiri, sementara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) bergeming, menyatakan bahwa langkah tersebut belum menjadi kebutuhan mendesak dan berpotensi membebani anggaran daerah.
Anggota Komisi B DPRD Kutim, Yusri Yusuf, menjadi salah satu suara yang paling vokal. Ia
berpendapat bahwa pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif adalah langkah strategis agar pengembangan
sektor tersebut dapat dikelola lebih fokus dan profesional. Yusri menekankan potensi besar Ekraf dalam
membuka lapangan kerja baru, menarik investasi, dan secara signifikan meningkatkan kontribusi
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kutim. Ia bahkan menyebut bahwa usulan ini
sejalan dengan arahan dari Kementerian Ekonomi Kreatif serta Surat Keputusan Bersama (SKB)
dengan Kementerian Dalam Negeri mengenai pedoman penguatan kelembagaan Ekraf di daerah.
Namun, desakan tersebut ditanggapi skeptis oleh Pemkab Kutim. Noviari Noor, Asisten II Sekretariat
Kabupaten Kutim, menjelaskan bahwa Ekraf akan tetap diintegrasikan dalam struktur Dinas Pariwisata.
Noviari beralasan bahwa kebijakan ini diambil murni demi efisiensi anggaran dan kelembagaan.
Menurutnya, mendirikan dinas baru secara otomatis akan mengakibatkan pembengkakan biaya
birokrasi, sementara cakupan kerja sektor Ekraf saat ini dinilai masih terbatas dan dapat dimaksimalkan
melalui penguatan bidang terkait di dalam Dinas Pariwisata. Pemkab Kutim memilih untuk berhati-hati
dalam menambah struktur organisasi demi menjaga stabilitas fiskal.
Dengan demikian, meskipun pihak Dewan melihat Ekraf sebagai sektor yang harus dioptimalkan secara
independen, Pemkab Kutim tetap menganggap penghematan biaya birokrasi dan integrasi kelembagaan
sebagai prioritas utama dalam tata kelola pemerintahan saat ini. (adv)













